Malam itu, meja makan hening. Hanya suara sendok dan piring yang
sedikit memecah kesunyian. Abah dan Ummi pun lebih banyak diam, tak
seperti biasanya.
“Abah, Ummi, maafkan Zaida.” Gadis 20 tahun itu menyeka butir bening yang terlanjur tumpah membasahi pipinya.
“
Zaida tidak bisa menerima lamaran Mas Ali. Semoga abah dan ummi mau
memaafkan Zaida. Zaida tidak cinta, Abah, Ummi. Lagi pula Zaida masih
kuliah.” Ia menghela napas panjang.
Abah membenarkan posisi
duduknya. Diletakkannya sendok yang sedari tadi di tangannya. Abah
berhenti melahap nasi goreng di hadapannya, yang hanya bersisa barang
tiga sendok saja. Kali ini, giliran lelaki itu menghela napas.
“
Zaida, sudah abah katakan berapa kali, cinta akan tumbuh seiring
berjalannya waktu. Coba lihat abah dan ummi, awalnya kami tidak saling
mengenal, belum saling mencintai. Kami juga dijodohkan oleh orang tua
kami. Dan untuk kuliahmu, Ali bisa memahaminya. Nak, kamu akan tetap
kuliah walaupun nanti sudah menjadi seorang istri,” tukas abah. Suaranya
tegas. Gurat di wajahnya melambangkan ketegasan.
Ummi tersenyum
simpul sepersekian detik setelah ucapan abah mengingatkannya pada
perjodohan mereka dua puluh tiga tahun silam. Cepat-cepat wanita itu
menarik simpul senyumnya, tak tega melihat anak gadisnya. Di hadapannya,
Zaida tertunduk. Kini kristal bening di matanya jatuh, pecah
berkeping-keping. Dan jauh di lubuk hatinya, kalau saja Abah tahu, telah
terisi sebuah nama. Bukan Mas Ali.
***
Jam dinding menunjukkan pukul dua. Dini hari ini Zaida masih di
dapur, menyiapkan racikan sayur kangkung sederhana untuk dimasak subuh
nanti. Perasaannya tak karuan. Bayangan abah dan ummi sesak memenuhi
ingatannya.
“ Dek, kenapa nangis?” Suara seorang lelaki dari ruang
tengah memecah lamunan Zaida. Cepat-cepat Zaida menghapus air mata yang
diam-diam sedari tadi membasahi pipinya.
“ Eh, nggak nangis kok, Mas. Mas Ali belum tidur?” Buru-buru Zaida memasang wajah manis di hadapan lelaki itu.
“
Mana bisa tidur kalau istri Mas masih terjaga. Dek, Mas sudah setahun
hidup denganmu. Mas tahu kamu pasti sedang bersedih. Ayo cerita sama
Mas.” Diraihnya tangan Zaida, digenggamnya erat-erat.
Memang sudah
setahun Zaida hidup dengan Mas Ali, lelaki pilihan Abah dan Ummi.
Menikah dengan lelaki yang tak dicintainya, di usia dua puluh. Sama
sekali tak pernah terbayang sebelumnya. Tidak mudah bagi Zaida untuk
menumbuhkan ‘cinta’, seperti yang pernah abah katakan.
“ Mas Ali,
apa Mas mencintai Zaida?” tanya Zaida ragu-ragu. Pertanyaan yang
sebenarnya tak perlu ia sampaikan. Perhatian sosok Mas Ali padanya tak
pernah kurang sedikitpun.
Ada kekagetan di wajah Ali. Tak cukupkah
perhatian yang ia berikan pada wanita di hadapannya, yang terpaut usia
tujuh tahun darinya?
“ Zaida, Mas mencintaimu karena Allah. Mas
mencintai Zaida karena Mas tahu Zaida adalah perempuan yang taat kepada
Allah. Mungkin mas tidak sempurna seperti yang Zaida harapkan, tapi Mas
hanya bisa melakukan apa yang bisa Mas Ali lakukan untuk Zaida.”
Tangis
Zaida sempurna pecah. Perasaan bersalah tiba-tiba sesak memenuhi ruang
batinnya. Di hadapannya seseorang lelaki tulus, namun mengapa tak
sedikit pun ia belum bisa menerimanya sepenuh jiwa.
“ Maafkan Zaida, Mas. Zaida belum bisa menjadi istri yang baik buat Mas Ali.”
“
Zaida, nggak usah nangis ya, sayang. Mending sekarang kita qiyamullail
dulu, yuk. Mohon pertolongan Allah.” Lelaki itu memberikan sesimpul
senyum, manis.
Sajadah terhampar di lantai kamar. Dua insan itu khusyuk menghadap Rabb-Nya. Melantunkan doa-doa ke langit.
***
“ Zaida, bangun sayang. Sudah waktunya shalat shubuh.
Semalam kamu ketiduran sehabis tahajjud. Mas nggak tega bangunkan kamu.
Ambil wudhu sana, mas tunggu.” Lelaki itu mengelus lembut kepala Zaida.
“
Ya Allah, maafkan Zaida, Mas. Harusnya Zaida tadi nggak usah tidur,
begini kan jadinya.” Bergegas Zaida mengambil wudhu, lantas kembali pada
suaminya. Mereka khusyuk menunaikan shalat shubuh.
Usai shalat
shubuh, Zaida menuju dapur. Kali ini ia kesiangan. Biasanya, ia bangun
sebelum adzan berkumandang. Memasak untuk sarapan pagi. Lantas
menyelesaikan urusan rumah tangga lainnya. Bagaimana pun, kini ia masih
berstatus mahasiswa sekaligus istri. Untungnya, tangannya terbiasa
cekatan dengan segala urusan rumah. Sejak kecil, abah dan ummi selalu
membiasakannya mandiri. Harus bisa mengatur kapan waktu membantu orang
tua, mengaji, belajar, dan bermain.
Mana racikan sayuran semalam?
Dibukanya kulkas kecil di pojok dapur. Tidak ada. Kakinya melangkah
menuju ruang tengah. Ada meja makan sederhana dengan empat kursi, walau
baru ada dua penghuni.
Zaida membuka tudung saji. “ Mas Ali, kok masakannya sudah matang? Ini Mas yang masak? Maafkan Zaida jadi merepotkan Mas.”
Lelaki dua puluh delapan tahun itu keluar dari kamar. Ia hanya tersenyum.
“
Zaida cicipi sayur kangkungnya, ya, Mas.” Wajah Zaida memerah. Ia
tersenyum. “Ini enak sekali, Mas. Mas Ali kok nggak pernah cerita sih
sama Zaida kalau Mas bisa masak?”
Lelaki itu mendekati Zaida yang duduk di kursi. Ia menggenggam tangan istrinya, erat.
“
Mulai hari ini Mas ingin menjadi suami dambaan surga. Membangun rumah
di surga bersamamu. Maafkan Mas Ali, Zaida. Mungkin Zaida belum bisa
merasakan cinta yang mas berikan. Tapi seiring berjalannya waktu, semoga
Mas terus bisa berbenah. Mas nggak tega lihat kamu ketiduran semalam,
kelelahan. Jadi ya racikan sayurnya mas masak.” Ia mencubit hidung
Zaida. Zaida semakin memerah pipinya.
“ Tapi ini nasi, lauk,
minum, semuanya sudah siap, Mas. Ini mas semua yang siapin? Terus ada
lilin juga, buat apa Mas? Kayak di restaurant aja.”
“ Eeem…. Kasih
tahu nggak ya? Sebentar ya, mas mau ambil sesuatu dulu.” Ali masuk
kamar, mengambil sesuatu. Hanya perlu tiga puluh detik hingga ia kembali
lagi.
“ Selamat ulang tahun yang ke-dua puluh satu, ya
Khumairaaaaaa,” ucap Ali bersemangat. Diberikannya sebuah boneka Teddy
Bear warna cokelat, boneka yang diam-diam sudah sangat lama diinginkan
Zaida semenjak SMP.
“ Terima kasih Mas Ali.” Butiran hangat menetesi pipi. Haru.
Zaida memeluk erat suaminya. Aku akan belajar mencintaimu, Mas, batinnya. Syukur tak terhingga ia panjatkan kepada Allah Maha Cinta atas segala cinta.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2015/02/12/63843/zaida-mas-mencintaimu-karena-allah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar